Tergopoh-gopoh
Sang Telik sandi memasuki gerbang istana Negeri Alengka. Terdengar suara dari
sang penjaga.
“Buka pintu gerbang. Sang telik sandi
bergegas hendak masuk ? ”teriak sang Penjaga pintu gerbang
Dengan
bergegas sang Telik sandi turun dari kuda. Bergegas menghampiri dan duduk
bersila di balairung Istana Negeri Alengka. Menunggu kedatangan Sang Maharaja.
“Daulat, Tuanku. Kabar dari ujung
negeri. Hamba hendak mengabarkan”,
Sembah Sang Telik sandi tertunduk. Mukanya menghadap lantai. Tidak berani
menghadap ke wajah sang raja. Tangannya tetap bersedekap. Menandakan pasrah.
Bersiap hendak menerima murka sang Maharaja.
“Ada apa, Sang Telik Sandi ?”, ujar sang
maharaja sembari tidak mengerti. “Tentu
saja kabar yang hendak dikabarkan sang Telik sandi begitu penting”, pikir
sang maharaja.
“Daulat, Tuanku. Pemimpin padepokan
sudah bertirakat. Mereka berkumpul. Turun wangsit dari langit.
Mereka kemudian menyerahkan
kekuasaan kepada pemimpin perampok yang sering menyantroni kampong. Perampok
yang sering memperkosa putri-putri anak dara yang sering mandi disungai ?”. Sembah sang Telik sandi. Badannya semakin
menggigil. Terbayang murka Maharaja mendengarkan kabar dari Sang telik sandi.
Mendengar
kabar dari sang Telik sandi, Maharaja bukannya murka. Malah tertawa.
“Hei, sang telik sandi. Mana
mungkin pemimpin padepokan mau menyerahkan kepercayaannya kepada sang pemimpin
perampok”, ujar sang Maharaja
tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar memenuhi balairung istana negeri
Alengka.
“Betul, tuanku. Hamba sendiri
menyaksikan. Para pemimpin padepokan mengaku sudah bertirakat. Sudah 7 purnama.
Dan mereka mendapatkan wangsit.
Didalam wangsit kemudian
mempercayakan kepada pemimpin padepokan. Agar segera mengambil alih istana Negeri
Alengka. Demikian, tuanku”.
Sambut sang telik sandi meyakinkan.
“Wahai, sang telik sandi. Para pemimpin
padepokan sedang berkumpul di Paseban. Sedang ruwat bumi. Mendoakan agar negeri
Alengka tidak dimurkai para dewata. Pulanglah. Rakyat negeri Alengka pasti
mengetahui. Siapa pemimpin padepokan yang sesungguhnya. Dan rakyat Negeri
Alengka sedang bersuka cita. Menerima kabar pemimpin padepokan tetap mendoakan
negeri Alengka”, ujar sang Maharaja meninggalkan balairung istana.
“Pulanglah. Istirahatlah. Istrimu sudah
menunggu dirumah”, titah sang Maharaja.
“Daulat, Tuanku”, sembah sang telik sandi.