Didalam
balairung Kerajaan negeri Alengka begitu sunyi. Semuanya diam. Tertunduk diam
tidak bersuara. Sang maharaja begitu murka. Tidak seperti biasanya Sang
Maharaja begitu murka.
“Mengapa
Adipati tidak mau mengurusi negerinya dari serangan Negara Air. Apakah Sang
Adipati begitu penakut. Atau memang begitu dungu sehingga tidak berani
menghadapi serangan dari negara air’, Kata Sang Maharaja begitu murka.
“Rakyat
kedinginan. Mereka tidur diluar. Dingin. Tiada penutup badan. Kasihan rakyatku”,
kata Sang Maharaja masih begitu geram.
“Daulat,
tuanku. Hamba sudah sampaikan kepada adipati agar keluar dari istana menghadapi
serangan dari negara Air. Tapi Adipati belum mau keluar. Katanya “Serangan itu”
tidak akan berarti apa-apa. Nanti akan ilang sendiri”, kata sang Punggawa. Tangannya
terkatup didada. Matanya menunduk kebawah. Tidak berani menatap wajah sang
Maharaja. Dia mengetahui. Sang maharaja begitu murka.
‘Tapi
sebagai adipati, dia harus didepan memimpin pasukan memimpin perlawanan
serangan dari negara air. Masa masih juga cengengesan kayak anak muda.
Memalukan. Suruh dia keluar dari istana”, kata sang Maharaja begitu murka.
Suaranya menggelegar. Memekakkan telinga. Seluruh balairung istana Kerajaan
mendengarkannya.
“Daulat,
tuanku maharaja. Titah tuanku akan hamba sampaikan kepada adipati”, katanya
bergegas keluar dari balairung. Tidak lupa barisan lengkap pasukan kerajaan
Negeri Alengka mengikuti punggawa menuju kerajaan Adipati. Titah yang harus
dilaksanakan.