Syahdan. Terlihat kehebohan diluar padepokan negeri Astinapura.
Para pendekar berkumpul didepan pasebanan. Mengelilingi pemimpin padepokan.
“Tuanku. Siapakah gerangan penghuni padepokan yang membawa ajian kitab keluar dari padepokan.
Konon di alun-alun istana terdengar suara gemuruh. Mempertanyakan siapakah para pendekar yang membawa ajian kitab padepokan, tuanku”, kata sang pendekar yang paling tua.
Wajahnya menunjukkan kegelisahan. Seaka-akan tidak percaya. Bagaimana mungkin ajian kitab dari padepokan keluar dari padepokan.
“Wahai para pendekar. Diantara para penghuni padepokan memang terbukti membawa kitab keluar dari padepokan.
Padahal para penghuni Sudah berikrar. Agar menjaga kitab tidak boleh keluar dari padepokan”, titah pemimpin padepokan.
Wajahnya menunjukkan kemarahan kepada yang Hadir.
“Pabila hingga satu purnama kedepan, kalian harus mencari siapa para penghuni yang telah mengeluarkan kitab dari padepokan.
Tidak patut para pendekar mempunyai sifat khianat kepada padepokan.
Dirimu dan segala ilmumu dibaktikan untuk padepokan. Bukan berkhianat kepada musuh negara astinapura.
Perbuatan itu sungguh-sungguh memalukan. Tidak pantas disandang para pendekar padepokan”, sambut sang Pemimpin padepokan.
“Baiklah, tuanku. Hamba akan mencari siapa para pendekar yang telah berkhianat kepada padepokan. Sekaligus berkhianat dari kerajaan Astinapura”, sembah sang para pendekar.
Mereka kemudian bersingsut mundur dari padepokan. Mencari pengkhianat padepokan dan negara astinapura.
Tidak lama kemudian Suasana sunyi. Pemimpin padepokan melanjutkan tapa brata.
Memohon ampun kepada Dewata Agung. Agar negeri astinapura selamat dari serangan negara api yang sebentar lagi akan menyerang negeri Astinapura.